Di Balik Gerbang Komplek: Secangkir Kopi, Doa Sunyi, dan Keberuntungan Pak Slamet
Jakarta – Udara dini hari di Jakarta punya baunya sendiri. Campuran antara embun yang turun dan sisa-sisa asap kendaraan dari hari sebelumnya. Di sebuah pos keamanan di sudut perumahan Griya Asri, aroma lain menguar: kopi hitam pekat dan sedikit wangi losion anti-nyamuk. Di sanalah, di bawah temaram lampu neon, Pak Slamet (48) duduk, melawan kantuk yang datang bergelombang.
Ini adalah dunianya. Sebuah kotak berukuran 2x3 meter dengan sebuah meja, beberapa kursi, dan kalender usang di dinding. Selama 15 tahun terakhir, pemandangan dari jendelanya tidak banyak berubah: gerbang besi yang kokoh, jalanan aspal yang lengang setelah tengah malam, dan bayangan pohon-pohon yang menari-nari ditiup angin.
Pak Slamet bukan sekadar penjaga. Ia adalah kamus berjalan komplek, ensiklopedia hidup yang hafal nama anjing peliharaan di nomor B7 dan jam berapa Tuan di C12 biasa pulang lembur. Ia sosok yang selalu ada, bagian dari pemandangan, setenang dan seandal tiang listrik di tikungan jalan.
Namun di balik seragam birunya yang sedikit pudar, Pak Slamet adalah seorang ayah. Seorang suami. Seorang pria yang pikirannya seringkali melompat jauh dari posnya, ke dapur rumahnya yang atapnya sedikit bocor, atau ke daftar biaya buku untuk si sulung yang akan masuk SMA.
"Namanya kebutuhan, Mas, nggak pernah ikut tanggal gajian," ucapnya suatu waktu dengan senyum yang getir sekaligus tulus. Gaji bulanannya adalah penopang hidup, seutas tali yang direntangkan di atas jurang kebutuhan. Cukup, jika tidak ada yang darurat. Tapi hidup, seringkali, penuh dengan hal-hal darurat.
Jendela Dunia di Layar yang Retak
Di antara jam-jam sunyi saat patroli sudah selesai, satu-satunya sahabatnya adalah ponsel pintar yang layarnya dihiasi beberapa retakan. Ponsel itu adalah jendelanya, tempat ia membaca berita tentang dunia di luar gerbang, menonton video-video lucu yang dikirim di grup WhatsApp keluarga, dan kadang, melihat iklan-iklan yang berkilauan.
Malam itu, rasa kantuk terasa lebih pekat dari biasanya. Kopi sudah tandas, namun mata masih terasa berat. Saat jarinya menggulir layar tanpa tujuan, sebuah iklan muncul. Warna-warni, dengan gambar koin emas berjatuhan. Blitz168. Bukan kali pertama ia melihatnya, tapi biasanya ia lewatkan begitu saja.
"Ah, paling-paling juga bohong," gumamnya pada diri sendiri, sebuah refleks skeptis yang lahir dari pengalaman hidup.
Tapi malam itu berbeda. Mungkin karena lelah, mungkin karena pikiran sedang suntuk memikirkan biaya daftar ulang sekolah, ada sedikit rasa penasaran yang tergelitik. "Coba lihat saja," bisiknya, lebih untuk memecah sunyi daripada niat sungguhan.
Ia membuka situs itu. Tampilannya rapi. Ia membaca beberapa tulisan, ada bonus untuk anggota baru, deposit bisa pakai pulsa. Sesuatu dalam dirinya yang biasanya sangat hati-hati, malam itu sedikit melunak. "Isi pulsa 20 ribu. Coba pakai 15 ribu. Kalau hilang, ya sudah, anggap saja salah beli kopi saset tiga bungkus," negosiasinya dengan diri sendiri. Prosesnya ternyata tidak serumit yang ia bayangkan. Beberapa klik, dan saldo 15 ribu rupiah itu muncul di akunnya, ditambah sedikit bonus.
Menekan Tombol, Membuang Suntuk
"Saya nggak ngerti sama sekali, Mas. Asal pencet saja," kenangnya sambil tertawa kecil. Ia memilih sebuah permainan dengan gambar kakek-kakek berjanggut putih yang memegang petir, "Gates of Olympus". Nama yang aneh di telinganya.
Taruhan ia setel di angka paling kecil. Dua ratus perak per putaran. Baginya, itu bukan judi. Itu hanya permainan gambar di ponsel, cara baru untuk membunuh waktu hingga fajar tiba. Saldonya naik sedikit, turun lagi. Ia tidak terlalu peduli. Suara mesin virtual dan gambar yang berputar-putar itu cukup untuk membuat matanya tetap terbuka.
Lalu, sesuatu terjadi. Empat gambar wajah si kakek muncul bersamaan. Tiba-tiba layar berubah, dan muncul tulisan "Free Spins". Putaran Gratis. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. "Wah, dapat bonus," pikirnya.
Di sinilah segalanya terasa berbeda. Di setiap putaran gratis, muncul bongkahan-bongkahan pengali. Angka-angka kecil yang tadinya hanya ratusan perak, tiba-tiba dilipatgandakan. Layar ponselnya yang retak itu mulai memancarkan cahaya kemenangan. "MEGA WIN," katanya. Pak Slamet menegakkan punggungnya. Tangannya yang biasa sigap memegang senter, kini terasa sedikit dingin.
Puncaknya datang tanpa aba-aba. Sebuah kombinasi gambar bagus mendarat bersamaan dengan pengali terbesar. x500. Angka di layarnya berhenti berputar. Untuk sesaat, ia pikir ponselnya macet. Lalu, angka final itu muncul. Sebuah deretan angka yang begitu panjang hingga ia harus mendekatkan ponsel ke wajahnya. Rp 101.452.500.
Sunyi yang Pecah oleh Isak Tangis
Hening. Suara jangkrik di luar terdengar lebih keras dari biasanya. Pak Slamet tidak bergerak. Napasnya tercekat di tenggorokan. Ia mematikan layar ponselnya, lalu menyalakannya lagi. Angka itu masih di sana. Ini nyata.
Rasa pusing dan gemetar menjalari tubuhnya. Bukan mimpi. Ia mencubit lengannya keras-keras. Sakit. Di pos satpam yang sempit itu, di bawah sorot lampu neon yang dingin, bahu Pak Slamet mulai bergetar. Ia menunduk dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya di atas meja. Air mata yang selama ini ia tahan di balik wajah tegar seorang kepala keluarga, akhirnya tumpah.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari tombol "Withdraw" atau penarikan. Ada secercah ketakutan. "Jangan-jangan cuma angka palsu." Dengan jari gemetar, ia memasukkan nominal seratus juta rupiah dan nomor rekeningnya. "Bismillah," bisiknya lirih.
Tak sampai lima menit, sebuah pesan singkat masuk. Dari bank. "Dana masuk sebesar Rp 100.000.000,-".
Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamannya. Ia membacanya sekali lagi. Dan sekali lagi. Sah. Nyata. Uang yang butuh ia kumpulkan mungkin selama sisa hidupnya, kini ada di rekeningnya.
Panggilan pertama ia tujukan ke rumah. Istrinya mengangkat dengan suara mengantuk. "Bu... Bu... jangan kaget ya..." kata Pak Slamet, suaranya serak menahan tangis bahagia. Awalnya, istrinya mengira ia bercanda atau kena musibah. Namun setelah Pak Slamet mengirimkan bukti tangkapan layar dari SMS bank, hanya hening yang terdengar di ujung telepon, sebelum pecah menjadi isak tangis yang sama derasnya. Malam itu, mereka berdua menangis bahagia, dipisahkan jarak beberapa kilometer, namun disatukan oleh keajaiban yang sama.
Fajar yang Baru, Langkah yang Lebih Ringan
Keesokan paginya, Pak Slamet tetap datang untuk serah terima jaga tepat waktu. Seragamnya masih sama, senyumnya kepada warga masih sama ramahnya. Tidak ada yang tahu bahwa satpam yang membukakan gerbang untuk mereka pagi itu adalah seorang miliarder baru.
Uang itu tidak membuatnya lupa diri. Rencananya sudah tersusun di kepala, bukan dari keserakahan, tapi dari daftar doa-doanya selama ini.
"Yang pertama, dan ini tidak bisa ditawar, sekolah anak-anak sampai mereka bilang capek," ujarnya mantap. "Saya mau lihat mereka pakai toga sarjana. Itu impian saya."
Lalu, ia akan memperbaiki atap rumah. Membayar lunas cicilan motor. Dan jika cukup, ia ingin mendaftarkan ibunya di kampung untuk pergi umrah. "Itu utang saya sama ibu," katanya pelan.
Pekerjaannya tidak ia tinggalkan. Baginya, pos satpam ini adalah saksi bisu perjuangannya. Kemenangan ini adalah bonus, sebuah hadiah tak terduga. Rezeki yang dititipkan Tuhan melalui jalan yang modern dan tak ia pahami sepenuhnya.
Kisah Pak Slamet bukanlah cerita tentang cara menjadi kaya. Ini adalah cerita tentang harapan. Tentang bagaimana di tengah rutinitas yang melelahkan, di balik kekhawatiran yang membebani, terkadang sebuah pintu kecil terbuka. Baginya, pintu itu bernama Blitz168, yang ia buka dengan modal iseng seharga segelas kopi.
Kini, setiap kali ia duduk di posnya dan menyeruput kopi di kala dini hari, senyumnya terasa berbeda. Lebih ringan. Beban di pundaknya telah terangkat, digantikan oleh rasa syukur yang hangat dan masa depan anak-anaknya yang kini tampak lebih cerah dari cahaya fajar di ufuk timur.
Posting Komentar